Kamis, 27 Mei 2010

kasta cinta


Banyak yang bilang bahwa cinta itu tak harus memiliki. Namun bisakah pernyataan itu dipertanggungjawabkan di pengadilan hati. Memang di mulut kata-kata itu terangkai indah menghiasi alam pendengar, namun jika soal hati siapa yang tahu. Pastinya hatinya terluka, di kesendirian malam banyak diwarnai dengan air mata, tersenyum dalam keperihan hati. Begitulah perjalanan yang harus dijalani seorang anak manusia yang mencintai dan yang dicintai itu tidak membalasnya, tidak membalas seperti yang dia mau.

Kenapa ada cinta, namun dia tidak membalasnya. Alangkah baiknya jika cinta itu tidak pernah muncul. Bagaimana bisa mencintai tanpa memiliki, bagaimana bisa mengekpresikan perhatian-perhatian kepada dia, jika hanya cinta pada bayang semu.

Ada yang mengatakan bahwa cinta adalah kerelaan. Bagaimana bisa merelakan seseorang yang sangat menghiasi, mewarnai hati itu pergi ataupun dibawa oleh dia. Seperti perkataan saya diatas, memang di mulut bisa seperti itu, namun di hati tidak rela. Bagaimana bisa seseorang melihat dia yang dicinta itu jalan dengan yang lain. Canda-tawa, makan bersama sedangkan yang di sini sedih, murung, menangis menahan perih yang semakin menusuk perasaan. Dia tidak akan rela jika dia jalan dengan yang lain, hanya keterbatasan dan keterpaksaan saja yang membatasi yang memaksa diri untuk merelakan semua.
Mungkin kata yang pas buat cinta adalah, bahwa cinta itu sebuah kedustaan. Cinta itu juga pilih kasih, jadi dapat dikatakan bahwa cinta itu tidak adil.

Terkadang saya juga merenung, pastinya mereka yang cantik itu mendapatkan dia yang tampan. Mereka yang kaya selalu dapat dia yang kaya juga. Mereka yang lebih mendapat yang lebih lagi. Adakah mereka yang jelek, miskin ini dapat memiliki dia yang kaya, pandai seutuhnya. Namun itu hanya sekedar wacana, sangat mustahil hanya terjadi di dunia fiksi, di novel-novel, di film-film, dan sebagainya.
Cinta itu ternyata diskriminasi, hanya milik dia yang lebih dan sederajat saja, khususnya mereka yang kaya dan pintar serta elok-keren. Kayaknya ada batas, ada kasta dalam cinta itu.

Mereka yang mempunyai keterbatasan itu setidaknya telah menggunakan berbagai cara untuk meraih hati dia yang berbeda kasta. Atau mungkin mereka tidak melakukan apapun sama sekali, karena tahu bahwa cintanya pasti akan kandas. Kenapa ada cinta jika terbatas oleh ruang dan ke-ego-an. Terus di mana yang namanya cinta sejati. Apakah itu kata-kata pembuai yang dilakukan penyair agar dia yang dipuji jatuh hati.

Cinta itu sebenarnya apa juga malah semakin tidak jelas. Semakin menggali makna cinta, mungkin malah terperosok ke dalamnya. Cinta, suka, sayang, kasih apa beda dari kata-kata itu. Namun kata-kata itu semuanya memiliki satu kesamaan, yaitu tangis yang selalu mewarnainya.

Kata-kata diatas tadi mungkin hanya sekedar menuliskan apa yang saya amati. Atau bahkan mungkin juga mengeluarkan isi hati yang selalu menyiksa diri. Terlalu menyalahkan cinta, karena selalu menangis. Berbeda dengan mereka yang baru jatuh cinta, suasananya selalu senang. Namun jika diamati, yang saya tuliskan itu setidaknya mendekati kebenaran. Di satu sisi emang yang jatuh cinta itu senang, namun di sisi lain yang jatuh cinta itu juga bersedih dan jarang yang melihat kesedihan itu, terlebih bagi mereka yang berbeda kasta. Memang telah menjadi sewajarnya jika kesenangan itu mampu menutupi kesedihan.

Mungkin alangkah baiknya jika biasa-biasa saja. Tidak begitu menafsirkan lebih atas perhatian seseorang. Belajar untuk mencintai sewajarnya. Mencari pengalihan yang positif. Sering-sering jalan-jalan, khususnya petualangan biar tahu bahwa masih banyak yang perlu dikerjakan. Ternyata cuek itu juga perlu dilakukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar